Minggu, 11 Oktober 2009

Filosofi Mangga Mengkal

Pada suatu siang sepulang sekolah adik saya, saya menguliti buah mangga yang memang ingin dimakan oleh adik saya sebagai cuci mulut siang itu. Pada kupasan pertama, aroma khas mangga sudah tercium, saya pikir mangga ini sudah cukup matang meskipun sebetulnya daging buahnya masih agak keras.  Hal menarik yang saya dapatkan adalah tentang bagaimana saya menggenggam mangga yang belum terlalu matang itu;  Lebih kokoh di genggaman saya, rasanya.

 

Saya jadi berkhayal, mungkin seperti inilah analogi yang pas untuk nikah muda.

 

Jika menikah muda, maka tentu akan lebih banyak pengalaman hidup dinikmati bersama pasangan.  Seperti mangga muda yang lebih enak kalau diberi bumbu campuran gula (rasa manis), asam (rasa asam), dan tentu saja garam (rasa asin).  Wah, pasti meriah.  Meriah dalam arti kedewasaan pribadi kita terbentuk karena pengalaman, bersama pasangan.  Buat Anda para pendukung nikah muda, jangan dulu senang, karena toh bumbu rujaknya juga bisa ditambah dengan cabe rawit.  Satu rawit masih oke, dua rawit bikin nagih, nah gimana kalau sudah terlalu banyak rawit? Wah… bisa bikin diare kan? 

 

Nah, kalau menikah di saat usia kita sudah tidak muda lagi, yang terjadi mungkin seperti buah mangga yang terlalu matang juga. Mengupasnya bisa jadi merepotkan, tangan belepotan karena biasanya kulit buah menjadi amburadul. Ya sudah, kalau sudah terlalu matang begitu kan disajikan dalam irisan-irisan kecil pun nampaknya tidak cantik.  Lebih baik diblender jadi minuman dingin saja, ditambah gula dan sedikit es batu.  Meskipun hanya bisa diberi gula dan es batu, mari kita lihat, toh dalam perjamuan makan seperti dalam resepsi pernikahan, yang disajikan bukan rujak karena tentu akan merepotkan.  Juice mangga adalah pilihan tepat untuk menampilkan kesan elegan bagi para tetamu.

 

Tunggu dulu, ternyata masih ada jenis mangga yang lain; mangga mengkal.  Mangga dengan daging buah tidak terlalu tua, tidak juga terlalu muda.  Pas, kalau mau diberi taburan cabai kering seperti di penjual buah potong akan tampak menggiurkan, kalau dimasukkan blender dan dibikin minuman manis pelepas dahaga juga tentu rasanya mantap.

 

Sahabat sekalian, menikah tidak semata tentang cinta.  Menikah juga tidak melulu soal nafsu.  Hal yang jauh lebih penting adalah bahwa menikah menghadirkan banyak hak setelah ditunaikannya berbagai kewajiban.  Bicara tentang hak dan kewajiban, kita bicara tentang kapasitas pribadi.  Bicara tentang buah mangga, tentu buah mangga mengkal bisa kita jadikan filosofi.  Mangga mengkal bersifat analog dengan ketepatan dalam memilih waktu untuk berikrar atas nama Sang Maha Cinta.  Ikrar yang menghadirkan hak setelah tunainya kewajiban.  Jika kewajiban masih belum bisa ditunaikan, layakkah kita menerima hak kita?

 

Sebut saja ikrar kita kelak merupakan sebuah gerbang.  Lantas mengapa kita harus menerka-nerka apa yang ada di balik gerbang? Mari kita maknai dulu ikrarnya. Kalau sudah, tentu kita bisa mengukur kapasitas pribadi kita, apakah kita bisa untuk tidak ingkar terhadap ikrar kita?

 

Salam,

-te-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar